
PENDAHULUAN
Pertama-tama saya menyampaikan banyak terima kasih kepada Panitia Pemilihan Majelis Klasis, yang sudah meminta saya untuk berbagi pemahaman dan pengalaman pada kesempatan ini. Sekaligus saya juga meminta maaf, sebab saya harus berterus terang bahwa materi yang akan saya bagikan mungkin kurang berkenan atau tidak terlalu cocok dengan kebutuhan. Sebab, ketika saya meminta, kira-kira tema apa yang akan saya bagikan; saya diberi “kebebasan” untuk menentukan, yang penting bisa memberikan penguatan tentang “hakikat panggilan dan bagaimana menjadi berkat dalam menjalankan panggilan tersebut di lingkup klasis”. Berbicara tentang panggilan dan menjadi berkat, ini adalah masalah tersendiri juga buat saya; sebab dua tema ini cakupannnya sangat luas. Karena itu tidak mungkin akan dibahas dalam satu atau dua jam. Daripada saya pusing memikirkan keruwetan tersebut, maka saya memilih tema sebagaimana tertera dalam materi ini. Kenapa saya memilih tema ini? Sebab yang ada di depan saya saat ini adalah para pemimpin yang akan memimpin para pemimpin. Atau dengan meminjam dan membahasakan ulang judul Buku, Flora Slosson Wuellner, “ Gembala yang akan menggembalakan para gembala”.[3]
Menjadi pemimpin bagi para pemimpin pasti membutuhkan seni; sebab memimpin para pemimpin lebih sulit dari pada memimpin umat yang bukan pemimpin. Atau menggembalakan domba pasti lebih mudah daripada menggembalakan para gembala. Jika kita tidak memiliki karakter dan seni kepemimpinan yang mumpuni maka kita akan gagal bahkan akan mengalami frustrasi di dalam memimpin. Dengan menyadari hal ini, maka satu-satunya pedoman bagi kita adalah bagaimana berefleksi dari jejak kepemimpinan Yesus; Sang Pemimpin Sejati yang sudah mumpuni berhadapan dengan para pemimpin pada zaman-Nya. Sang Gembala Agung yang sudah berhadapan dengan para gembala yang Dia sendiri percayakan untuk menggembalakan kawanan domba Allah. Dia adalah pemimpin sejati yang dalam kepemimpin-Nya sudah terbukti, teruji dan terpuji.[4]
Inilah alasan mengapa saya memilih tema di atas, dan saya berharap tema ini bisa membantu kita dalam memahami panggilan sebagai para pemimpin dan bagaimana kita bisa menjadi berkat atau menjadi berkat melalui kepemimpinan yang dipercayakan Tuhan kepada kita baik sebagai MKH, mau pun sebagai anggota MK non pendeta (dan anggota MK- Ex-officio yang adalah para Ketua Majelis Jemaat). Dan kunci untuk mendapat pemimpin yang mumpuni yang bisa memimpin para pemimpin haruslah melalui sebuah proses pemilihan yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan sesuai dengan Peraturan Pemilihan yang sudah ditetapkan.
TANTANGAN YANG DIHADAPI PEMIMPIN
Dalam Naskah Teologi dan Peraturan Pemilihan Penatua, Diaken dan Pengajar dan Pengesahan Anggota Majelis Jemaat, Peraturan Pemilihan Majelis Klasis, Peraturan Pemilihan Majelis Sinode & Peraturan Pembentukan dan Tata Hubungan Badan Pelayanan, Badan Pembantu Pelayanan dan Unit Pembantu Pelayanan GMIT tahun 2022,[5] mencatat tentang tantangan yang dihadapi GMIT baik tantangan dari luar (eksternal) GMIT mau pun tantangan dari dalam (internal) GMIT.
Pertama, Tantangan Ekternal.
Satu, munculnya dan adanya banyak denominasi kristiani di wilayah pelayanan GMIT, yang kehadirannya, ajarannya, tata laksana ibadahnya, gaya dan isi khotbahnya, militansi pelayanannya bisa menjadi daya tarik bagi banyak anggota GMIT untuk beralih keanggotaan. Benar bahwa dalam masyarakat yang terbuka, manusia bebas memilih keyakinan dan ekspresi keyakinan iman, namun jika nggota GMIT beralih ke denominasi lain, karena kurang mendapat perhatian pelayanan yang memadai, maka kepindahan mereka adalah wujud kelalaian GMIT.
Dua, kemajuan teknologi informatika memudahkan manusia, termasuk anggota GMIT, untuk mengakses informasi, termasuk informasi ajaran teologi, dari berbagai sumber yang secara pribadi dapat diterima sebagai kebenaran dan dianut oleh anggota GMIT, padahal secara lembaga GMIT tidak mengakui ajaran tersebut.
Tiga, munculnya banyak tawaran rekreasi dan hiburan untuk menikmati kehidupan santai pada akhir minggu, sebagai cara melepas kepenatan kerja yang semakin padat. Daya tariknya bisa saja menyebab banyak anggota GMIT tidak memilih untuk mengikuti ibadah minggu tetapi memilih bersantai untuk menyegarkan tubuh dan jiwa, sebab memasukilagi hari-hari padat kerja yang menguras energi. Tantangan ini menuntut GMIT untuk menata ibadah minggunya begitu rupa agar memenuhi kebutuhan anggotanya, termasuk kebutuhan akan penyegaran tubuh-jiwa, sebagai energi baru menghadapi rutinitas hidup yang terkadang amat berat.
Empat, hadirnya Handphone (HP) dan sejenisnya menciptakan model baru relasi manusia, yang bisa memberi sumbangan mau pun menggangu kebersamaan sebagai keluarga dan gereja yang beribadah. Hal ini berjalan seiring dengan menguatnya paham yang menekankan hak-hak individu (dalam sosiologi disebut individualisasi) menyebabkan makin longgarnya kesatuan manusia sebagai satu komunitas, karena setiap orang lebih menekankan pendapat pribadinya daripada mengedepankan nilai-nilai yang merawat kebersamaan.
Kedua, Tantangan Internal.
Satu, kekaburan ajaran dan teologi GMIT mengenai banyak tema teologis dan kehidupan menyebabkan banyak anggota GMIT menyerap dan memercayai teologi dan ajaran teologis-eklesiologis lain yang dapat menyebabkan friksi-friksi dalam komunitas beriman jemaat-jemaat GMIT.
Dua, adanya banyak arus berteologi dan praktek pelayanan yang beraneka di GMIT. Setidak-tidaknya ada corak berteologi akademis-rasional berbasis iman dalam memahami teks Alkitab dan konteks, yang berjalan beriringan, dan seringkali bertabrakan, dengan corak berteologi yang menekankan penglihatan, bisikan roh, suara Tuhan, pernyataan Roh yang bersifat langsung dari Tuhan.[6] Selain itu adanya corak berteologi sosial yang menekankan perlunya perhatian dan pelayanan pemenuhan gereja terhadap aspek-aspek sosial ekonomi kehidupan manusia, berjalan seiring dengan corak berteologi yang hanya menekankan pelayanan rohani semata-mata, nampak dalam praktek pelayanan para pendeta GMIT dan dalam sikap anggota yang menerima atau menolak corak berteologi dan pelayanan sosial tersebut.[7]
Tiga, luasnya wilayah pelayanan GMIT dan beragamnya anggota GMIT, baik dalam hal keberagaman tradisional-bawaan seperti suku, budaya, bahasa, dll, mau pun keberagaman modern seperti perbedaan tingkat dan jenis pendidikan, jenis keahlian, jenis pekerjaan dan jenis aktifitas menciptakan konteks pelayanan GMIT sebagai konteks yang amat kompleks.
PROSES PEMILIHAN PEMIMPIN
Berhadapan dengan tantangan baik eksternal mau pun internal sebagaimana disebutkan di atas, maka GMIT sangat membutuhkan pemimpin yang sanggup memimpin GMIT (klasis) di dalam dan menghadapi komplekstitas tantangan di atas. Dan tetap menjadi Gereja yang setia mengemban misinya. Sehubungan dengan hal ini, maka ada beberapa catatan reflektif yang patut kita hayati dan renungkan, dalam rangka menuju persidangan Klasis untuk memilih para pemimpin untuk 4 tahun ke depan.
Pertama, GMIT memilih berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan, Kepala dan Pemilik Gereja, adalah pemegang otoritas tertinggi dalam memilih pemimpin GMIT (sinode, Klasis, jemaat) yang Ia hendak jadikan sebagainpengantara dan kawan sekerja Tuhan. Berdasarkan keyakinan ini maka ketika kita memilih pemimpin, proses pemilihan dimaksud adalah untuk merealisasikan pemilihan Tuhan, dengan memilih orang yang Tuhan pilih, untuk merealisasikan pemerintahan Tuhan atas gereja-Nya; sekaligus memampukan gereja untuk melayani dan melaksanakan amanat kerasulan kepada dunia, manusia dan lingkungan hidup. Dengan demikian proses pemilihan adalah proses iman lebih daripada suatu proses sosial, apa lagi proses politik.
Kedua, kompleksitas tantangan GMIT menuntut bahwa pemimpin GMIT di semua lingkup yang akan mengemban tugas sebagai Majelis Harian (MSH, MKH dan MJH) adalah mereka yang memilikin spiritualitas, pengetahuan dan pengalaman yang memadai, suatu kombinasi yang membentuk kematangan berpikir, bertindak, mengambil keputusan dan berelasi pastoral. Dengan spiritualitas dan pengetahuan yang memadai maka pengalaman akan terus direfleksikan untuk memeperkaya dan mengarahkan pelaksanaan tugas pelayanan dan kepemimpinan atas GMIT. Selanjutnya, kompleksitas konteks pelayanan GMIT menuntut komitmen GMIT untuk memilih dan menetapkan para pemimpin pada level MSH, MKH dan MJH sebagai tim kerja, bukan sebagai pekerja tunggal, yang mengembangkan semangat kolegialitas dan bukan hirarki. Dengan demikian asas menggereja GMIT, yaitu asas presbiterial-sinodal, semakin urgen dan makin kontekstual untuk diimplementasikan dalam wujud kepemimpinan kolegial.
Ketiga, pentingnya puasa dan doa ( jadi cari tim doa bukan tim sukses) sebagai cara menenangkan dan mengasah ketajaman iman sekaligus kepekaan batin agar dapat memahami apa dan siap yang dikehendaki Tuhan, Kepala dan Pemilik gereja.
Berdasarkan tiga poin di atas, maka proses pemilihan para pemimpin GMIT harus berbeda dengan proses pemilihan di luar gereja. Meski pun GMIT diutus dan berada di tengah-tengah dunia, namun harus tetap menjadi gereja Tuhan yang selalu menjunjung tinggi dan mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi, dan menjauhkan diri darihal-hal duniawi, yang sekuler. Dalam memilih para pemimpin gereja, GMIT harus menjadi “garam” dan “terang” di tengah-tengah dunia, bukan sebaliknya. Karena itu, meskipun kita berada di dunia, namun gereja tidak boleh sama dengan dunia, termasuk dalam hal memilih para pemimpin gereja (contoh: kampanye hitam dll yang saling menjegal dan menjatuhkan)
GMIT harus tampil beda dengan dunia. Biarlah gereja tetap menjadi gereja. Hal ini baru akan terjadi, jika di tengah-tengah dunia yang penuh tantangan, GMIT mau berkomitmen untuk tetap berdiri di atas kehendak Allah di dalam Yesus Kristus, Pemilik dan Kepala Gereja.
SENI MEMIMPIN PARA PEMIMPIN BERDASARKAN KEPEMIMPINAN YESUS
Bagian ini akan diuraikan tentang bagaimana cara Yesus memimpin sehingga kepemimpinannya benar-benar terbukti, teruji, dan terpuji.
Pertama, dalam kepemimpin-Nya Yesus lemah-lembut[8] tetapi tidak lemah.
Dalam banyak kasus/bagian disebutkan Yesus adalah pemimpin yang lemah lembut (Matius 11:28-30). Kelemah-lembutan Yesus digunakan untuk menolong mereka yang berada di dalam berbagai situasi yang memprihatinkan, yang tidak mampu menolong diri mereka sendiri. Sikap mau berkorban dan merendahkan diri demi orang lain dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Sikap inilah yang ditunjukkan Yesus, pada saat Ia disalibkan, yaitu ketika diperhadapkan dengan orang-orang yang memusuhi-Nya; ketika Ia dpukul, dicambuk dan tidak membela diri. Apa yang dilakukan Yesus bukanlah tanda kelemahan justru kelamah-lembutannya itu menjadi kekuatan yang membuat Yesus menang. Itulah sebabnya, Yesus mengatakan kepada para murid-Nya dalam Matius 5: 5, bahwa orang yang lemah lembut adalah orang yang berbahagia karena mewarisi bumi.
Kedua, tegas tetapi tidak kasar.
Ketegasan dalam kepemimpinan merupakan salah satu sikap yang sangat berperan dan mengambil posisi yang vital dalam diri seorang pemimpin. Dia menjadi barometer dalam kepemimpinan. Jika ketegasan kendor, maka kepemimpinan cendrung mengalami kendala baik dari dalam mau pun dari luar organisasi. Ketegasan dapat memicu pergerakan dan kemajuan oraganisasi mau pun orang-orang yang dipimpin. Jika ketegasan diabaikan maka kepemimpinan dapat mengalami kemunduran dan rentan dengan perpecahan yang dapat menjadi awalnya kehancuran sebuah kepemimpinan. Yesus menunjukkan kepemimpinan yang tegas ketika orang di sekitar akan mengalihkan visi dan misi Kerajaan Allah yang Ia emban. Dan Yesus tegas dalam kepemimpinan-Nya berlaku untuk semua orang yang melenceng dari apa yang semestinya. Misalnya Yesus tegas menegor Petrus karena ia, tidak setuju bahwa Yesus harus menderita (Mat. 16:22-23); Yesus menegor para murid yang ada dalam perahu ketika mereka ketakutan saat angin ribut (Mark 4:35-41). Yesus juga dengan tegas menegor keluarga-Nya (ibu-Nya) saat mereka mencari Yesus dan menemukan-Nya di Bait Allah (Luk. 2: 41-52). Yesus tegas terhadap orang banyak yang mengikut-Nya karena tujuan yang tidak sesuai dengan maksud kehadiran Yesus. Mereka mau mengikut Yesus hanya karena mendapatkan makanan melalui pemberian 5 Roti dan 2 ikan (makanan jasmani semata; Yoh. 6: 25-59).
Ketiga, Rileks tetapi tidak santai.
Dalam kepemimpinanya, ketika Yesus berhadapan dengan berbagai kritik, Ia selalu menanggapinya dengan rileks sehingga tetap eksis dalam kepemimpinan-Nya. Seorang pemimpin yang yang menanamkan sifat rileks akan membuat orang yang ada di sekitarnya merasa aman dan nyaman bersama. Mereka tidak merasa seperti orang yang bersalah, yang sedang diperhadapkan kepada hakim yang siap menjatuhkan hukuman. Pemimpin yang menunjukkan sikap rileks, dapat mencairkan suasana dan dapat merenggangkan ketegangan yang memang sering terjadi didalam kepemimpinan. Rileks dapat membuat orang berpikir lebih baik dan jernih. Yesus menunjukkan sikap ini, ketika seorang perempuan yang kedapatan berzinah dibawa kepada-Nya (Yoh 8: 1-11). Dan pada saat para musuh-Nya mengkritik para murid yang memetik gandum pada Hari Sabat ( Mat. 12:1-8). Atau berdialog dengan perempuan Samaria di sumur (Yoh 4). Dia menanggapi denga rileks tetapi bukan santai atau acuh dan anggap remeh apa yang sedang terjadi.
Keempat, berdiam tetapi tidak membisu.
Dalam banyak peristiwa yang sering memojok diri-Nya dengan berbagai pernyataan atau memancing situasi, Yesus lebih banyak memilih diam. Yesus memilih sikap diam bukan karena dia tidak bisa menjawab atau tidak mau menjawab, melainkan karena ada alasan tertentu yakni:
- Ia memilih sikap diam karena Yesus tahu bahwa situasi itu tidak perlu ditanggapi. Hal itu sering diterapkan-Nya bila tidak begitu penting dan tidak bermanfaat, atau bisa saja situasi tersebut sudah pernah ditanggapi, namun tetap diulangi lagi sehingga menimbulkan kejenuhan dan membosankan, dansupaya tidak dibahas lebih baik didiamkan.
- Yesus memilih sikap diam karena Yesus tahu, diam adalah jawabannya. Hal ini sering terjadi terhadap situasi yang memancing suatu pernyataan dari Yesus sebagai pemimpin apakah Yesus membela diri atau tidak yang menyangkut diri dan kepemimpinan-Nya. (bnd. Mat. 27:12-14, saat Yesus di hadapan Pilatus). Yesus memilih diam, sebab kalau menjawab pun tidak ada gunanya, karena mereka sudah merencanakan semuanya.
- Yesus memutuskan untuk bersikap diam karena hal itu belum saatnya untuk dijawab. Ini bisa terjadi karena situasi tersebut sukar atau belum bisa dipahami, seandainya pun dijelaskan dan dijawab belum tentu dapat dimengerti bahkan bisa mendatangakan kebingungan, kalau pun dijawab. (bnd. Saat membasuh kaki para murid; Yoh 13:7 ).
- Yesus memilih sikap diam tetapi tidak membisu karena pertanyaan itu hanya untuk mencobai atau untuk mencari sesuatu yang dapat dipakai untuk memepersalahkan diri-Nya. (bnd. Yoh 8:1-11, saat orang banyak bertanya, Yesus hanya diam dengan menulis di tanah, dan hanya menjawab seadanya).
Sikap diam Yesus justru menjadi kekuatan yang melemahkan para musuh yang mau menjatuhkannya. Banyak pemimpin justru tidak bisa berdiam diri karena mau segera menanggapi dan bernafsu untuk membela diri dengan berbagai cara, pada situasi tidak pas dan bukan pada waktu dan tempat yang tepat.
Kelima, Berotoritas tetapi tidak otoriter.
Tidak ada kepemimpinan tanpa wewenang. Bila seseorang pemimpin sudah kehilangan wewenang ia tidak layak lagi untuk memimpin. Sebab kewenangan adalah suatu kuasa yang diabsahkan oleh suatu organisasi kepada seseorang sehingga orang tersebut mempunyai hak untuk memimpin. Kewenangan memimpin dapat digunakan untuk kebaikan atau pun disalah-gunakan untuk kejahatan, tergantung dari pemimpin yang bersangkutan. Pemimpin yangotoriter akan memakai wewenangnya untuk kepentingan diri sendiri dan mengorban orang lain. Yesus memiliki kuasa/otoritas baik di sorga mau pun di bumi (Mat. 28:18). Artinya tidak ada lagi wewenang/otoritas yang dimiliki orang lain yang dapat disejajarkan dengan otoritas Yesus. Namun kendati Ia memiliki semua kewenangan tersebut, Dia tidak mau menyalahgunakannya dengan sikap sewenang-wenang/otoriter. Misalnya saat orang Samaria menolak Yesus untuk singgah di daerah mereka, bisa saja Yesus melakukan kewenangan-Nya seperti yang diminta para murid-Nya untuk menurunkan api dari Sorga membakar mereka. Namun Dia tidak melakukannya, malah Dia memilih desa yang lain.
Keenam, Marah tetapi tidak pemarah.
Banyak orang berpikir bahwa pemimpin rohani seperti Yesus tidak boleh marah, apa lagi disebutkan Dia lemah-lembut. Namun dalam kepemimpinan Yesus , Dia pernah marah, tetapi pernah menjadi pemarah. Allah sendiri disebutkan sebagai Allah yang marah/murka terhadap dosa dan kejahatan sebab Dia adalah Kudus. Demikian pula Yesus, Dia marah tetapi bukan suatu kelemahan atau bentuk dosa. Melainkan satu ekspresi kasih yang begitu dalam untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan. Kemarahan Yesus timbul sebagai suatu perasaan akibat suatu hal tidak berjalan dan tidak berlangsung dengan semestinya, sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Allah. (bnd. Yesus Marah ketika masuk Bait Allah, Matius 21:12-22; Yoh 2: 13-25). Yesus sangat marah karena fungsi Bait Allah yang seharusnya dipakai sebagai rumah doa, tetapi disalhgunakan untuk berjual-beli, mereka menyamakan Bait Allah dengan sarang penyamun; mereka benar-benar tidak lagi menghormati Bait Allah. Yesus tidak bisa membiarkannya. Ia marah kepada mereka; tetapi bukan marah tanpa sebab (sekedar marah-marah = pemarah).
Ketujuh, kepemimpinan Yesus menunjukkan sikap peduli atau berbelas-kasih/jatuh hati (Mark 1:41).
Kepemimpinan yang teguh, keras, tidak kenal menyerah dan selalu menang pasti memiliki pendukung; pemimpin semacam ini sering dipuji untuk sementara waktu. Tetapi kepemimpinan yang abadi, yang berlangsung lama selalu dicirikan rasa belas kasihan. Yesus menunjukkan sikap belas kasih ketika melihat orang menderita. Bahkan terkadang melanggar aturan (misalnya aturan Sabat, Yesus menyembuhkan orang pada Hari Sabat, karena mereka sudah sangat menderita dan butuh penyembuhan). Dan belas kasihan Yesus bukan untuk kepentingan diri-Nya tetapi untuk orang lain. Banyak pemimpin menunjukan belas kasih tapi untuk mendapat keuntungan berupa jabatan atau fasilitas yang menguntung bagi diri sendiri atau kelompok sendiri.
PENUTUP
Demikianlah cara Yesus memimpin berhadapan dengan para pemimpin terutama mereka yang merasa diri tahu dan hanya mencari kesalahan Yesus. Dengan berbagai strategis dan cara memimpin, Yesus dapat menghadapi dengan tegas melewati semua tantangan baik dari luar kelompok mau dari dalam kelompok sendiri. Mari kita belajar dari kepemimpinan Yesus, sebagai seni di dalam memimpin. Mari kita berbela rasa untuk tidak saling menyakiti dan menjegal hanya karena kita berbeda pilihan soal siapa yang akan kita pilih sebagai pemimpin. Mari kita mencari kehendak dan apa pilihan Allah siapa yang akan memimpin gereja-Nya di klasis ini, dengan memperbanyak tim doa bukan memperbanyak tim sukses! Selamat bersiap diri untuk menjadi pemimpin yang dipilih Tuhan melalui para utusan setiap jemaat.
DAFTAR PUSTAKA
- Angkouw, Samuel Ruddy, Kepemimpinan Gembala Yang Alkitabiah, Blessing Words Publishing, Menado, 2020
- Darmaputera, Eka, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, Kairos Books, Yogyakarta, 2005.
- Lack Rudi, 101 Prinsip-Prinsip Kepemimpinan dari Kitab Nehemia, Penerbit Yaski, Jakarta, 2004.
- Majelis Sinode GMIT, Naskah Teologi dan Peraturan Pemilihan Penatua, Diaken dan Pengajar dan Pengesahan Anggota Majelis Jemaat, Peraturan Pemilihan Majelis Klasis, Peraturan Pemilihan Majelis Sinode & Peraturan Pembentukan dan Tata Hubungan Badan Pelayanan, Badan Pembantu Pelayanan dan Unit Pembantu Pelayanan GMIT, Kupang, 2022.
- Simanjorang, Ferdinan, Sang Pemimpin Sejati: Menapaki Jejak Kepemimpinan Yesus, Rumah Doa Cawang, 2010.
- Smith, Michael W, dan Jacob L. Stevenson, Kepemimpinan Visioner: 52 Prinsip yang Menjadikan Yesus Pemimpin Terbesar Sepanjang Masa, Prestasi Pustaka Kasih, Jakarta, 2004.
- Weber, Hans- Ruedi, Kuasa: Sebuah Studi Teologi Alkitabiah, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1997.
- Wueler, Flora Slosson, Gembalakanlah Gembala-Gembala : Penyembuhan dan Pembaruan Spritual bagi Pemimpin Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007
- Wuwungan, O. E. Ch, dkk, Kebersamaan Hidup, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004
[1] Materi dipersiapkan dan disampaikan untuk Percakapan Pastoral bagi para Calon anggota Majelis Klasis Kupang Barat periode 2024-2027, Senin: 11 September 2023 di Gedung Kebaktian Jemaat GMIT Talenalain Manulai 1.
[2] Pemateri adalah Pendeta GMIT yang melayani sebagai Ketua Pengurus Badan Diakonia GMIT (BDG) periode 2020-2023.
[3] Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah Gembala-Gembala-Ku, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007.
[4] Ferdinan Simanjoran, Sang Pemimpin Sejati: Menapaki Jejak Kepemimpinan Yesus, Rumah Doa Cawang, 2010, h. 2-3.
[5] Majelis Sinode GMIT, Naskah Teologi dan Peraturan Pemilihan Penatua, Diaken dan Pengajar dan Pengesahan Anggota Majelis Jemaat, Peraturan Pemilihan Majelis Klasis, Peraturan Pemilihan Majelis Sinode & Peraturan Pembentukan dan Tata Hubungan Badan Pelayanan, Badan Pembantu Pelayanan dan Unit Pembantu Pelayanan GMIT, Kupang, 2022, hal. 25-26.
[6] Kasus penghancuran patung Yesus di Alor Timur, yang dilakukan oleh seorang pendeta GMIT dan didukung oleh para presbiter dan anggota jemaat, serta sikap pimpinan GMIT terhadap pendeta tersebut danperistiwa itu mencerminkan ketegangan antara dua corak berteologi tersebut.
[7] GMIT sebagai lembaga menerima dan mengakui pelayanan sosial ekonomi bagi anggotaadalah bagian integral dari misinya. Karena itu GMIT mengembangkan banyak lembaga pelayanan sosial. Namun nyata benar kesepahaman antara anggota dan antara para pendeta. Anggota menganut pemisahan tegas antara tugas gereja dari tugas pemerintah menekankan pendapat bahwa pelayanan sosial ekonomi dll untuk kebutuhan manusia adalah tanggungjawab pemerintah dan gereja tidak boleh mencampurinya. Gereja cukup mengurus hal-hal rohani saja. Sementara itu mereka yang hanya menekankan pelayanan rohani saja, menganggap para pendeta yang mengembangkan pelayanan sosial ekonomi sebagai bagian dari pelayanan gereja sebagai “cari-cari kerja”.
[8] Lemah lembut bahasa Yunani Praus, rendah hati/sikap batin ( Ibrani : anaw), rela menundukkan diri dan berkorban demi orang lain. Bnd. Musa, disebutkan dalam Bil. 12:3.
Editor: Pdt. yft hb