Siapakah Pendeta Itu? Memahami Panggilan dan Peran Bersama dalam Tubuh Kristus (bnd. Efesus 4:11-12).
(Sebuah Refleksi pada ibadah penggembalaan pengutusan Pdt. Yunita E. Abolla M.Th dan perhadapan Pdt. Iwan Julius Lay S.Th dan Pdt. Veronika Y. Gella, S.Th di Talenalain Manuai 1 Jumat, 1 Agustus 2025)
Oleh Pdt. Doddy Sarmento Octavianus, S.Th (KMK GMIT Klasis Kupang Barat)

Pengantar
Ketika kita berbicara tentang pendeta, bayangan apa yang muncul di benak kita? Bagi sebagian besar dari kita, pendeta seringkali dilihat sebagai sosok yang “serba bisa” dan “sempurna.” tanpa cela, bukan cuma dirinya bahkan semua yang melekat dan dekat dengannya wajib sempurna. terkadang kita berharap pendeta menjadi gembala yang selalu kuat, selalu tersenyum, takboleh terluka dan selalu bersemangat. Pendeta adalah pengkhotbah yang menginspirasi, penengah konflik yang bijaksana, pengajar yang tak pernah salah, teladan yang tak boleh jatuh dan sahabat bagi setiap orang. Bahkan dalam diamnya, pendeta dinilai. Dalam setiap tindakannya, pendeta dituntut. Dan dalam doanya, kita berharap ia mendengar langsung suara Tuhan yang memberikan jawaban bagi jemaat yang memohon.
Siapakah itu pendeta?
Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting bagi kita untuk memahami apa sebenarnya pengertian seorang pendeta dari sudut pandang teologis. Secara etimologi, istilah “pendeta” berasal dari bahasa Sansekerta “pandita,” yang mengacu pada seorang terpelajar atau imam. Dalam konteks Kristen Protestan, istilah ini digunakan untuk merujuk pada pemimpin rohani yang telah dipanggil, dilatih secara teologis dan ditahbiskan untuk melayani jemaat.
Pendapat ahli teologi memberikan beragam definisi yang saling melengkapi.
- Pendeta adalah orang yang memiliki kewenangan dalam gereja yang diperoleh dari Allah. Mereka adalah “mulut Allah” yang meneruskan fungsi nabi, yaitu memberitakan firman Allah atas nama Allah.
- Pendeta adalah orang khusus yang terpanggil memberitakan kebaikan Tuhan kepada umat.
- Pendeta sebagai hamba Tuhan dan pengikut Kristus yang dipanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani, setia dalam tugasnya, dan rajin melayani dengan memanggul salibnya setiap hari (sesuai Lukas 9:23).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pendeta adalah sekedar sebuah profesi yang diemban seseorang berdasarkan keahliannya, tetapi pendeta lebih pada sebuah panggilan iman dan keyakinannya kepada Yesus Kristus, di mana ia melayani manusia dengan menjadikan Yesus sebagai teladan hidupnya. Pendeta ditahbiskan dan dipilih Allah untuk menyampaikan firman-Nya, serta diperlengkapi dalam pembinaan dan pengajaran sesuai firman Allah.
Beban Ganda dan Kelelahan Emosional Pendeta
Namun, mari kita jujur pada diri sendiri dan pada realitas yang seringkali tersembunyi. Di balik jubah pelayanan itu, pendeta adalah manusia biasa. Ia adalah seorang ayah atau ibu, seorang anak dari orang tuanya, seorang pribadi dengan luka, letih dan air mata yang tak selalu terlihat oleh mata kita. Pendeta seringkali berada dalam posisi yang “serba salah.” Terlalu lembut, dianggap lemah. Terlalu tegas, dianggap tidak mengasihi. Melayani siang malam, dianggap kurang hadir di keluarga. Berlibur sejenak, dianggap tidak setia. Realitanya, tidak ada pendeta yang sempurna. Pendeta bukanlah superman atau wonder woman dalam balutan rohani. Ia adalah seorang hamba Tuhan yang dipanggil, bukan karena ia sanggup, tetapi karena Allah yang memampukan. Perlu kita pahami, tuntutan yang begitu besar ini bisa menyebabkan pendeta mengalami kelelahan yang mendalam, bahkan burnout (kelelahan emosional, fisik dan mental yang disebabkan oleh stres berkepanjangan). Mereka juga manusia yang bisa merasa letih, putus asa dan kehilangan semangat. Bayangkanlah beban emosional saat harus selalu menunjukkan kekuatan, bahkan ketika hati sedang terluka.
Fenomena ini menjadi lebih kompleks lagi bagi pendeta perempuan. Mereka seringkali memikul beban ganda: tidak hanya tugas pelayanan yang berat, tetapi juga tanggung jawab sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Mereka melayani jemaat dan di saat yang sama, mereka juga melayani suami—pasangan yang juga menyatakan janji di bawah mimbar. Konflik peran ini bisa sangat menguras energi, menyebabkan kelelahan fisik dan emosional yang luar biasa. Mereka mungkin harus memilih antara mempersiapkan khotbah atau mengurus kebutuhan anak, antara melayani jemaat di kala duka atau mendampingi suami yang juga lelah. Dalam keheningan malam, mereka mungkin berjuang melawan rasa bersalah atau ketidakmampuan. Padahal tugasnya bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi setia. Setia dalam kelemahan, setia dalam tuntutan, setia dalam kasih dan pengorbanan. Inilah inti dari panggilan seorang pendeta.
Karena itu, Pelayanan adalah Tanggung Jawab Bersama
Seringkali kita menempatkan beban seluruh pelayanan gereja di pundak pendeta seorang diri. Namun, firman Tuhan mengajarkan hal yang berbeda. Pelayanan gereja bukanlah beban satu orang; ini adalah tanggung jawab bersama seluruh tubuh Kristus. Paulus menulis dalam 1 Korintus 12:14: “Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap jemaat punya bagian. Ada yang menasihati, ada yang mendoakan, ada yang memberi kekuatan, ada yang menopang. Gereja bertumbuh bukan karena satu orang yang luar biasa, tetapi karena seluruh tubuh bekerja bersama-sama. Pendeta memimpin, namun seluruh tubuh Kristus bergerak bersama. Ini adalah sebuah orkestra di mana setiap instrumen memiliki perannya masing-masing.
Karena itu, Dalam Kelemahan Pendeta, Jemaat Dipanggil untuk Melengkapi
Mari kita renungkan lebih dalam. Di balik kesungguhan pelayanan seorang pendeta, selalu ada keterbatasan manusiawi. Namun justru di situlah Tuhan menghadirkan jemaat—bukan untuk menghakimi, melainkan untuk melengkapi. Tuhan punya maksud agar gereja bukan hanya menjadi tempat berkhotbah, tetapi menjadi ruang persekutuan yang saling menopang
Tuhan tidak pernah bermaksud agar pendeta berjalan sendiri, atau jemaat sekadar menuntut. Ia merancang agar kita saling melengkapi sebagai saudara dalam tubuh Kristus. Kita dipanggil untuk menjadi penopang, pendoa dan pemberi semangat bagi hamba-Nya. Khususnya bagi pendeta perempuan yang mungkin menghadapi beban berlipat, dukungan jemaat dalam bentuk empati, bantuan praktis dan doa yang tulus, sangatlah krusial.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu tokoh reformasi besar, John Calvin: “God does not use angels to govern His church, but weak and fallible men, so that His grace may be seen more clearly in their weakness.”Artinya, Allah tidak memakai malaikat untuk menggembalakan gereja-Nya, tetapi manusia lemah dan terbatas, supaya kasih karunia-Nya semakin nyata di tengah kelemahan mereka. Kata-kata Calvin ini menegaskan bahwa pendeta hanyalah alat—dan dalam segala kekurangannya, kasih karunia Tuhan dinyatakan justru melalui dukungan dan kasih jemaat.
Pendeta adalah Hamba yang Diurapi dan Patut Dihormati
Meskipun pendeta adalah manusia biasa dengan kelemahan, firman Tuhan juga mengingatkan kita akan satu hal penting dalam 1 Tesalonika 5:12-13: “Hormatilah mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan menegur kamu. Tunduklah kepada mereka dengan kasih karena pekerjaan mereka.” Menghormati pendeta bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia dipanggil dan diurapi oleh Tuhan untuk pekerjaan suci itu. Ketika jemaat menghargai pelayan Tuhan, mereka sebenarnya sedang menghormati Tuhan yang memanggil dan memakai hamba-Nya. Ini adalah pengakuan akan otoritas ilahi yang diberikan kepada mereka untuk memimpin kita. Mari kita tunjukkan hormat ini tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata, termasuk kepedulian terhadap kesejahteraan mereka, baik fisik maupun mental.
Kiranya kita belajar melihat pendeta dengan cara yang benar: bukan sebagai pribadi sempurna, tetapi sebagai hamba yang berjuang setia dalam panggilan, yang juga bisa lelah dan membutuhkan dukungan. Mari kita belajar untuk melengkapi kelemahan pelayan Tuhan dengan kasih dan dukungan, sebab di situlah Tuhan sedang membangun gereja-Nya bukan dengan kekuatan manusia, tapi dengan kasih dan kerja sama tubuh Kristus.
Penutup
Jemaat yang mendukung, pendeta yang setia dan Tuhan yang melengkapi itulah wajah gereja yang sejati. Mari kita bersama-sama mewujudkan gereja yang demikian, di mana setiap anggota saling menopang dan memuliakan nama Tuhan. Amin.
GMIT Klasis Kupang Barat bagi kemuliaan Tuhan.f
Editor: Pdt yft hb