JALAN MENUJU KEMENANGAN (Bagian ke lima dari lomba VG di So’e)

VG Kubakustik pada babak final (dc. YT GBKN Official Soe)

Kuanheun,gmitklasiskupangbarat.or.id, -Kubakustik (Kupang Barat Akustik) adalah vokal grup yang dibentuk oleh UPP Litmuger GMIT Klasis Kupang Barat. Mereka telah mengikuti perlombaan Vokal Grup Pemuda Gereja Sedaratan Timor Barat tahun 2025 yang diselanggarakan oleh Pemuda GMIT Jemaat Batu Karang Nonohonis So’e. Perlombaan dilaksanakan pada 18 dan 20 Juni 2025. Kubakustik berhasil meraih juara pertama dari 20 peserta.

Berikut ini cerita dari Anggota VG Kubakustik GMIT Klasis Kupang Barat.

Algis Senu (suara 2, GMIT Lahairoi Kuanheun)

(doc. Kubakustik)

Selasa, 17 Juni 2025 kami berangkat dari gereja Lahairoi Kuanheun menuju ke gereja Batu Karang Nonohonis So’e kurang lebih jam 1 siang (13.00 wita). Kami singgah di Sikumana sekitar setengah dua untuk persiapan bekal. Setelah semua siap kami bergerak lagi ke Liliba setelah sampai kami doa bersama yang di pimpin oleh Pdt. Aneke Ina. Kami berangkat ke So’e kurang lebih jam 3 sore.

Suasana sukacita seperti biasanya berkendara layaknya tour anak muda. Namun, kurang lebih pukul 5 sore (17 wita), kelelahan mulai terasa di wajah teman-teman yang ada di dalam kendaraan pick up. Kami telah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dan merasakan perbedaan suhu dari panas sampai ke dingin. Ada yang terduduk dalam keadaan mengantuk, ada yang berbaring tertidur di antara teman-teman yang sedang duduk.

Kurang lebih pukul 19.00 wita (7 malam) kami tiba di kota So’e di depan Kantor Kejaksaan. Kami berhenti sejenak untuk makan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan jam 9 malam kami tiba di Nonohonis. Kami diarahkan untuk ke rumah Bapak Semi Oematan. Kami mendapatkan sambutan begitu hangat dari keluarga. Di rumah keluarga Oematan, kami akan menginap selama perlombaan. Kami menaikkan doa syukur, makan malam lagi yang dipersiapkan keluarga dan beristirahat karena kelelahan dalam perjalanan.

Rabu, 18 Juni 2025 dinginnya So’e di pagi hari membangunkan kami. Olahraga pagi adalah salah satu cara mengusir dingin. Kami makan pagi sesudah itu kami berlatih. Namun, di situlah ujian pertama dari Tuhan yang kami rasakan.

Teman kami sakit. Suaranya hilang karena penyesuaian lingkungan dari panas ke dingin. Suasana latihan kami sangat berbeda. Pendeta Aneke mencoba berbagai cara pada hari itu dengan memberikan kami vitamin dan obat-obatan herbal lainya demi kesehatan dan pemulihan suara. Sempat kami berlatih dan sesudah itu kami istirahat kurang lebih 2 jam. Lalu kami berangkat ke rumah ibadah GMIT Batu Karang Nonohonis yang jaraknya kurang lebih 100 meter. Panitia memberi izin untuk tes panggung dengan dibantu oleh Rando Laga yang bertugas sebagai Liaison Officer (LO)  untuk menghubungkan kami dengan panitia. Merasa cukup puas kami kembali ke penginapan dan sebelum istirahat kami berlatih sekali lagi. Namun hasil tetap sama seperti tadi pagi, suara teman-teman masih tetap tidak sehat.

Salah satu momen yang saya ingat pada sore itu adalah di mana Pdt. Aneke dan Pdt. Linda duduk bersama dengan kami di ruang tengah kediaman keluarga Oematan. Pdt. Aneke berbicara apabila di antara personil ada yang merasa tidak senang atau sakit hati dari awal latihan hingga saat di So’e mohon untuk dicurahkan agar tidak menjadi beban saat lomba. Satu persatu teman-teman menyampaikan unek-unek. Tangisan terdengar dari personil dan kedua pendeta yang menemani kami.

Saya termenung dan berpikir bahwa ini adalah perjuangan. Kami begitu bersemangat dan mempunyai tekat kuat. Kami tidak ingin membuang waktu kami selama satu bulan latihan dan empat hari di So’e dengan begitu sia-sia. Ini bukan kesedihan tapi sebuah motivasi. Air mata bukan karena kami takut tapi karena kami ingin berjuang.

Semangat kami akhirnya kembali bangkit. Kami masing-masing persiapkan segala kelengkapan untuk perlombaan. Pukul 18.00 kami berangkat dari penginapan ke gereja untuk mengikuti babak penyisihan. Kami tampil dengan nomor urut 5 dari 20 peserta.

Kami menunggu giliran di belakang panggung. Ada yang duduk terdiam, ada yang sedang mencoba mengingat kembali teknik bernyanyi dan dua pemusik kami sedang mengulangi teknik bermainnya.

Suara terucap dari mulut Master of Ceremony (MC): Panggilan untuk peserta nomor urut 3! Kami dituntun Pdt. Aneke menuju ke belakang gereja untuk pemanasan dan berdoa. Ketika terdengar panggilan untuk nomor 4, kami segera bergeser dari belakang ke pintu samping masuk panggung.

Akhirnya saat-saat yang kami tunggu, nomor 5 GMIT Klasis Kupang Barat (VG Kubakutik di panggil. Satu persatu kami naik ke atas panggung. Tes mic, posisi berdiri dan memberikan penghormatan.

Lagu pertama hingga kedua akhirnya kami selesaikan dengan baik. Gemuruh tepuk tangan di dalam ruangan lomba menyambut kami di akhir lagu. MC memberikan kesempatan kepada dewan juri untuk mengomentari hasil penampilan. Kami saling melihat dan penuh senyuman di wajah ketika salah satu dewan juri mengatakan: Saya hanya bisa bilang tiga huruf, T O P! Disusul kometar kedua dari Maryon Pattinaja untuk menyanyikan lagu di event (kegiatan) berikutnya dengan lagu asli agar jemaat dapat mengetahui dan menyanyikan dengan benar.

Kami dipersilahkan turun dari panggung. Nampak raut wajah puas dan lega dari semua personil Kubakustik. Seperti setengah badan kami lepas. Kami turun ke backstage (belakang panggung)  dan disambut sukacita oleh Pendeta Aneke dan Pendeta Linda dan LO Rando. Kami memanjatkan doa syukur dan beberapa di antara kami kembali ke penginapan, yang lainnya mennggu hasil babak penyisihan. Kurang lebih pukul 23.00 wita berita bahagia kami mendengar dari LO, kami lolos ke babak final. Rasa sukacita memenuhi kediaman keluarga Oematan. Kami makan dan beristirahat.

Kamis, 19 Juni 2025, seperti pagi sebelumnya yang dingin menusuk tulang, kami bangun dan sarapan. Lalu berlanjut latihan untuk final. Kami masih menghadapi kendala yang sama: suara dan kesehatan personil. Pendeta Aneke mencoba berbai cara dan obat herbal untuk memulihkan kondisi.

Selesai latihan, kami beristirahat. pada malam hari sekitar pukul 23.00 wita, kami berkumpul di ruang tengah keluarga Oematan. Pelatih kami, Pak guru Efer Nenabu telah sampai dalam perjalanan Kupang menuju So’e. Kami berlatih lagi. Kecemasan terlihat dari raut wajah pelatih karena suara dankesehatan yang kurang baik.

Jumat, 20 Juni 2025 di pagi yang dingin dan menusuk tulang serta kabut tebal, tidak menghambat kami untuk beraktifitas. Ada yang mandi,  olah raga maupun duduk terdiam dan memeluk badan mencari kehangatan.

Kami berkumpul lagi untuk berlatih. Pak Efer memberikan pembekalan lagi kepada kami satu per satu. Kami berlatih, berdoa, makan dan beristirahat.

Pakul 17.00 wita, kami mempersiapkan diri. Kembali kami berlatih. Pada momen ini saya merasa sangat frustasi karena suara kami sonde nyambung dengan bunyi gitar. Waktu yang tersisa sangat singkat untuk masuk perlombaan final. Pak Ever mencoba menenangkan kami. Kami beristirahat.

Pukul 19.00 wita, rombongan pendeta Klasis Kupang Barat tiba di kediaman keluargaSemi Oematan. Rasa bahagia kami rasakan. Satu per satu kami disalami dan dirangkul penuh kasih dan kekuatan. Pendeta Doddy Octavianus mendoakan kami.

“Kubakustik bisa!” Suara dalam teriakan penyemangat ini menggelegar di halaman rumah keluarga Oematan. Semua telah siap. Kami bergerak menuju area backstage. Kami menunggu giliran tampil ke sepuluh dari sepuluh peserta. Sambil mendengarkan penampilan peserta lain, pelatih terus memberikan arahan dan pembekalan di backstage. 

Terdengar MC memanggil pserta nomor enam, kami bergerak ke belakang gereja untuk pemanasan. Hal aneh masih terus terjadi karena suara kami masih sonde nyambung dengan bunyi gitar. Kami seperti lupa teknik bernyanyi. Dua kali percobaan dan hasilnya tetap sama. Pelatih tetap mengingatkan kami untuk tenang dan bernyanyi dengan baik.

Kami kembali ke backstage. Tak lama kemudian terdengar panggilan untuk peserta nomor urut 9. kami berdiri, berangkulan dan berdoa.

‘Kubakustik bisa!” kembali terdengar di backstage. Dengan saling memberikan semangat, kami menuju ke pintu yang mengarah ke panggung untuk menunggu giliran tampil. Saya melihat raut wajah teman-teman personil. Ada yang tersenyum, ada yang memberikan semangat kepada teman. Sementara Josua pemain Kajon sedang berdiri menghadap tembok dengan mata tertutup. Dia sedang berdoa. Saya menutup mata dan berdoa: Ya Tuhan, ijinkan suara ini memuliakan Tuhan dengan baik.

Kami memasuki panggung ketika nomor urut sepuluh disebut oleh MC. Kami berdiri sesuai posisi masing-masing. Dari kiri: Elsan Sau, Rian Labagai, Maron Minfini, Sinta Pate Lado, Nofal Sau. Yudit Asraka, saya (Algis Sau) dan Rian Senu.

Sama seperti tanggal 18 Juni, kami mengatur posisi berdiri, tes mic dan memberi hormat. Suara Kajon dan gitar berbunyi mengiringi kami bernyanyi lagu pertama dan kedua dengan baik. suara gemuruh, tepuk tangan meriah dan teriakan menyambut kami di akhir lagu kedua.

Ketiga dewan juri bertepuk tangan. Dewan juri di tengah berdiri sambil bertepuk tangan (standing ovation), sambil menggelangkan kepala seperti merasa puas.

Air mata saya hampir tidak terbendung mendengar komentar juri: Ini cara bernyanyi sudah internasional. Kalau saya jadi produser, kalian ini rekamannya tidak susah mixing (campur/gabung) lagi karena suara kalian sudah sangat bersih. Harmoni kalian juga pas.

Sesudah mendengarkan komentar juri, tepuk tangan riuh menggema mengiringi kami menuruni panggung. Suara tangisan bahagia terdengar dari personil Kubakustik saat menuruni tangga menuju backstage. Kami bahagia karena seperti beban berat di pundak terlepas.

Kami berkumpul di backstage. Rombongan pendeta Klasis Kupang Barat datang menemui kami. Bersalam dan berfoto. Rona bahagia terpancar di wajah.

Waktu berjalan dari pembukaan, penampilan 10 peserta, sambutan-sambutan penutupan dan penarikan kupon undian berhadiah.

Tiba waktunya pengumuman pemenang lomba vokal grup. Kami duduk di area kiri berhadapan dengan panggung. Dewan juri mulai membacakan hasil perlombaan dari terbaik 10 sampai tertinggal dua peserta yang belum disebut: Kubakustik (nomor urut 10) dan Pemuda Imanuel So’e (nomor urut 06).

Kami menanti dengan penasaran dan jantung berdebar. Dewan juri menyebut nomor 06 sebagai terbaik kedua (juara 2). Kami melompat kegirangan. Saya melihat Bapa Pdt. Doddy berdiri sambil kedua tanganya memegang kepala, sementara di belakang saya saudara-saudara kami dari Kupang Barat melompat sambil berteriak kegirangan. Saya menangis bahagia.

Panitia meminta semua wakil peserta masing-masing juara untuk berdiri di panggung. Kubakustik diwakili oleh Nofal Sau. Hadiah diberikan kepada juara 6 sampai 1. Kami bersorak dan berpelukan bahagia sewaktu Nofal menerima piala. Kami kemudian berfoto di panggung.

Saya turun dari panggung. Masih berdiri di deretan tengah arah panggung: “Ini seperti mimpi!’ Euforia (rasa bahagia) kemenangan menyelimuti kami. Puas rasanya melewati semua.

Kami kembali ke penginapan dan berpapasan dengan rombongan pendeta Kupang Barat dan saudara-saudara yang akan kembali. Tiba di kediaman keluarga Oematan, kami menaikkan doa syukur, berfoto dan jam 04.00 wita kami beristirahat.

Sabtu, 21 Juni 2025. Pagi yang cerah namun dingin yang sama menyadarkan saya. 07.23 wita waktu yang ditunjukan oleh hanphone saya. Sudah terlalu siang. Tidak seperti dua hari yang telah berlalu ketika jam 6 kami sudah harus bangun.

Saya keluar dari kamar. Ternyata teman-teman sudah siap kembali ke Kupang. Sayapun bersiap. Kurang lebih jam 10.00 wita kami berkumpul di ruang tamu keluarga Oematan. Kami berdoa untuk pulang dan berpisah.

Kita akan berpisah namun kita akan bertemu lagi dua tahun yang akan datang. Oleh karena itu kami pasti akan kembali dan bertemu dengan Bapak Semi Oematan dan keluarga. “Kami merasa nyaman sampai lupa rumah,” ucapa mama Pendeta Aneke sebelum doa pulang.

Terima kasih Bapak Semi dan keluarga yang telah menerima kami kurang lebih 5 hari sejak tanggal  17 sampai 21 Juni. Kami diterima sebagai keluarga dalam Tuhan.

Kami bergerak pulang dari So’e dengan 2 kendaraan roda 4 dan3 roda dua. Sempat menyinggahi Oesao untuk makan dan melanjutkan perjalanan. Mobil pertama mendahului ke Kupang Barat, sementara mobil kedua mengembalikan barang sewaan ke Rumah Tenun Air Nona. Gereja Lahairoi Kuanheun menjadi akhir tujuan perjalanan bersama kami.

Kurang lebih pukul 17.00 wita, kami tiba di Kupang Barat di GMIT Lahairoi Lunheun. Dengan wajah-wajah kelelahan namun puas kami berdo’a dan berpisah.

Banyak moment yang saya rasakan langsung pada perjalanan ini. Salah satu moment yang membuat saya termotivasi adalah ketika kami berdoa untuk pembekalan. Di dalam khotbah mama Pendeta Aneke, mengatakan kalau Kupang Barat ini sering di sebut orang Timor dengan sebutan “Kupang berat.” Beliau mengajak agar kita merubah tradisi sebutan ini. Puji Tuhan tanggal 20 Juni 2025 kami menghapusnya.

Kekompakan kami teruji dan bertahan dari ujian seperti personil sakit dan suara yang tidak sehat. Kami tidak menyerah untuk berlatih. Itu menjadi salah satu motivasi tersendiri bagi saya.

Sebelum saya tutup cerita ini saya mengutip kata-kata dari dewan juri Maryon D. Pattinaja, M.Sn, Ph.Dsebelum menggumumkan hasil perlombaan VG pada 20 Juni 2025. “Bene canit bis orat,” yang berarti “Bernyanyi dengan benar sama dengan dua kali berdoa.”

Muda itu bukan tentang status, fisik dan umur tapi tentang jiwa. Tetap puji Tuhan selama kita masih diberi kesempatan.

GMIT Klasis Kupang Barat bagi kemuliaan Tuhan.f

 

Editor: Pdt. yft hb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *